Friday, June 11, 2010

1001 Strategi KKP Kurangi Illegal Fishing

 
 Hingga awal Juni ini, aktivitas nelayan Indonesia yang tertangkap melakukan penangkapan ikan di wilayah Asutralia hanya 48 orang.

JAKARTA. Kementerian Kelautan dan Perikanan telah melakukan berbagai kerjasama dengan Australia dalam hal memberantas aktivitas illegal fishing di daerah perbatasan kedua negara.

“Kerjasama juga dilakukan dalam hal penelitian, pengembangan sumber daya manusia, mapun pelestarian lingkungan,” jelas Aji Sularso, Direktur Jenderal Pengawasan Sumber daya Kelautan dan Perikanan.

Menurut Aji, nelayan yang bisa melakukan penangkapan ikan di wilayah perbatasan terutama wilayah Australia adalah nelayan tradisional yang sejak nenek moyangnya telah menangkap teripang atau sumberdaya laut lainnya di Pulau Pasir (Ashmore Reef). Kawasan tersebut merupakan yuridiksi kedaulatan Australia, tetapi nelayan yang berasal dari Pulau Rote (NTT) diperbolehkan menangkap ikan disana setelah ada kerjasama. “Dengan syarat tetap mempertimbangkan kelestarian sumberdaya yang ada di dalamnya,” kata Aji.

Yang bisa melakukan penangkapan tersebut hanya nelayan tradisional yang melakukan penangkapan ikan secara turun temurun. Sedangkan nelayan yang datang dari Sumatera disepakati tidak diperbolehkan menangkapan ikan di wilayah perbatasan tersebut.

Dalam catatan KKP, jumlah nelayan Indonesia tertinggi melakukan kegiatan illegal fishing di perairan Australia sejak tahun 2000 hingga 2006 mencapai 2500 orang saban tahunnya. Namun, sejak tahun 2007, aktivitas tersebut mengkerut menjadi 979 orang, tahun 2008 tertangkap 557 orang, tahun 2009 tertangkap 124 orang. Hingga awal Juni ini, aktivitas nelayan Indonesia yang tertangkap melakukan penangkapan ikan di wilayah Asutralia hanya 48 orang.

Nelayan Indonesia yang banyak melakukan penangkapan ikan hingga ke wilayah Australia itu datang dari berbagai daerah seperti NTT, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Maluku, Jawa Timur dan juga Papua.

Kawasan perbatasan Indonesia Asutralia itu cukup unik, karena terdapat tumpang tindih area status kedaulatannya. Pemerintah Indonesia menggunakan hukum wilayah perbatasannya dengan sistem Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE), sedangkan Australia menggunakan sistem Batas Landas Kontinen. “Kedua sistem yang sama-sama diakui secara internasional tersebut menyebabkan adanya kawasan yang overlap,” jelas Aji.

Namun akhirnya, tahun 1974 diperoleh kesepakatan terhadap terhadap biota yang menempel di dasar laut pada kawasan tersebut merupakan hak ekonomi Australia, sedangkan ikan yang berenang di perairannya adalah milik Indonesia. “Banyak nelayan Indonesia belum mengetahui masalah ini,” jelasnya.

Sumber : Harian Kontan, 11 Juni 2010


No comments:

Post a Comment